AMGPM- AMAN Maluku Tolak Relokasi

Rencana relokasi ratusan masyarakat adat suku terpencil Mausuane di pedalaman Pulau Seram, Kecamatan Seram Utara Timur Kobi, Kabupaten Maluku Tengah (Malteng) ditantang Angkatan Muda Gereja Protestan Maluku (AMGPM) dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Wilayah Maluku.

Sekeretaris Umum Pengurus Besar AMGPM, Pendeta Jondry Paays mengatakan, suku Mausuane adalah warga masyarakat suku pedalaman yang secara turun-temurun hidup dan menyatu dengan hutan di wilayah petuanan mereka.

Tentunya, lanjut dia, jika mereka (Mausuane-red) direlokasi dari pegunungan ke wilayah yang disebut lebih aman dan mudah terjangkau, maka akan berpengaruh pada cara hidup dan bahasa mereka.

“Relokasi bukan solusi tepat. Mereka ini sudah menyatu dengan alam dan akan tidak betah jika ditempatkan di wilayah baru. Makanya kami tolak untuk relokasi ini dilakukan,”kata Paays kepada wartawan di Ambon, Rabu (25/7).

Dia mengatakan, pengalaman direlokasinya masyarakat Huaulu pada 2015 lalu menjadi masalah dan itu membuktikan mereka tidak akan bertahan hidup diwilayah baru seperti transmigrasi, sebab hidup mereka adalah hutan.

Selain itu, relokasi adalah bentuk kecerdasan pemerintah ingin menguasai sumber daya alam milik masyarakat adat. “Kami menduga akan ada investor baru yang mau masuk sehingga suku terpencil ini harus direlokasi,”katanya.

Dikatakan, jika kekurangan bahan makanan yang menjadi masalah maka pemerintah setempat harus melakukan tanggap darurat kebencanaan dengan menyediakan dan mendistribusikan bantuan bahan makanan.

Kemudian,  tambah dia, jika hama tikus dan babi menjadi prioritas selanjutnya, maka yang harus dilakukan saat ini adalah memberikan bantuan pengendalian hama dengan cara tepat berupa pendampingan, pelatihan, dan pemanfaatan teknologi sederhana.

“Jika dua topik ini yang menjadi masalah, maka yang dilakukan adalah langkah menangani secara serius bukan malah merelokasikan mereka ke tempat baru. Itu bukan solusi tepat,”jelasnya.

Terpisah, Ketua AMAN Wilayah Maluku Lemmy Patty menduga, ada rencana besar dibalik niat Pemerintah Kabupaten Maluku Tengah (Malteng) merelokasi ratusan masyarakat adat Suku Mausu Ane yang mendiami hutan Pulau Seram di wilayah pegunungan Murkele.

“Ini hal yang ganjal. Kok masalah kelaparan dan hama tikus dan babi yang mengganggu saja, mereka harus direlokasi. Apakah tidak ada solusi tepat yang lain. Saya menduga ada rencana lain,”tandasnya.

Berdasarkan analisa AMAN yang dilakukan sejak isu ini timbul ke permukaan, kemungkinan akan ada investor besar yang ingin masuk ke kawasan tersebut. Apalagi, Pemkab setempat sangat ngotot melakukan relokasi sejak peristiwa kebakaran hutan tahun 2015 lalu.

Lenny Patty menilai, alasan meninggalnya tiga warga adat suku Mausu Ane yang terdiri dari satu orang lansia dan dua balita, akibat kehabisan bahan makanan tidak masuk akal. “Kalau perkebunan mereka di serang hama babi dan tikus itu aneh sekali, karena mereka ahli berburu. Babi pun mereka makan,” tutupnya.

PELANGGARAN HAM

Masalah kelaparan hingga berujung kematian tiga warga suku adat terpencil Mause Ane, merupakan  tindakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). “Di sana ada Pemerintah dan Dinas teknis terkait. mereka  mempunyai data tentang angka kemiskinan di Kabupaten Malteng. Kalau masalah kelaparan hingga menyebabkan kematian, itu berarti pemerintah acuh. Makanya saya katakan ini bentuk pelanggaran HAM,”kata Kepala Komnas HAM Maluku Benedictus Sarkol kepada Kabar Timur di Ambon, Rabu (25/7).

Dia mengatakan, Pemda Malteng lewat Dinas terkait mestinya lebih awal untuk mengecek masalah disana. Sebab, dugaan kematian tiga warga suku Mause Ane bukan hanya soal kelaparan, tetapi juga tentang kondisi kesehatan.Menurutnya, suku mause ane adalah masyarakat nomaden atau berpindah-pindah. Bicara soal nomaden, tentunya Pemda Malteng belum berada disitu. Artinya, mereka (suku muase ane-red) belum dianggap masyarakat tetap yang masuk pada pelayanan public di Malteng. “Ini yang belum terlihat karena belum ada perhatian khusus dari Pemda Malteng disana,”ujarnya.

Pemda beranggapan ketika mereka masih menyandang status masyarakat nomaden maka tidak perlu ada perhatian serius. Sehingga hak-hak hidup mereka tidak begitu penting. “Saya duga seperti itu. Mungkin karena mereka ini masyarakat nomaden sehingga tidak ada perhatian serius,”tandasnya.

Kemudian, peran Dinas Kesehatan daerah setempat juga tidak terlihat disana. “Ini fakta yang terjadi. Tentunya peristiwa ini menunjukan Pemda Malteng lalai dalam melihat masyarakat adat terpencil Mause Ane. Dan ini pelanggaran HAM,”tegasnya.

Dia berharap, Pemda Malteng melalui dinas yang berwenang bisa mendata dan merilis setiap angka kemiskinan suku pedalaman yang ada di wilayah Malteng. Sehingga, peristiwa seperti ini tidak terulang kembali. Begitu juga dinas kesehatan pro aktif melihat warga suku terpencil. Sebab, bukan hanya kelaparan yang menjadi masalah, tetapi kesehatan yang tidak terjamin yang bisa menyebabkan warga meninggal dunia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *